Uncategorized

Merdeka Untuk Rakyat Atau Korporasi

29
×

Merdeka Untuk Rakyat Atau Korporasi

Sebarkan artikel ini

Penulis : Ketua DPC mandataris AKPERSI Pohuwato, Yopi Y Latif

Ceklisdua.Net | OPINI – Mungkin masih segar di ingatan kita, saat masih menempuh pendidikan di bangku sekolah, dimana setiap tanggal 17 Agustus, kita rela berpanas-panasan mengikuti upacara bendera.

Dengan begitu berwibawanya, Inspektur upacara memberikan sambutan, yang seakan membawa kita masuk ke alam perjuangan, membakar semangat serta memompa darah dalam jantung menuju puncak nasionalisme di jiwa, hingga dalam hati merasa bangga dan gagahnya para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan, sampai tidak henti-hentinya kita mengucap syukur dan terimakasih terhadap jasa mereka.

Namun seiring berjalannya waktu, membawa kita meninggalkan masa-masa itu, pengaruh budaya dan politik global, perlahan merasuk ke pola hidup.
Pengaruh asing, dengan begitu mudahnya masuk ke negeri ini, merasuk ke setiap kepala, memaksa masyarakat berpikir bahwa sebenarnya kita belum merdeka. Meskipun secara de facto, kita telah lepas dari penjajahan, namun secara ekonomi budaya, serta politik kita masih terjajah.

Dimana Keadilan sosial perlahan mulai hilang, memaksa rakyat melepaskan sesuatu yang seharusnya dipertahankan, mungkin karena adanya penindasan serta intimidasi kekuasaan, mengharuskan rakyat bungkam. Peningkatan ekonomi serta tersedianya lapangan pekerjaan sebesar-besarnya karena adanya investasi, terbangun secara opini akan tetapi tidak sesuai dengan realita.

Padahal sebenarnya, rakyat hanya berakhir sampai di depan pintu, sebab didalamnya telah terisi pemangku kebijakan, yang mungkin saja, sedang asyik berpesta pora dengan kolega menikmati hasil kemerdekaan, yang seharusnya menjadi hak setiap warga yang lahir ditanah Republik Indonesia.

Mari kita melihat salah satu wilayah bagian Indonesia Timur, atau tepatnya di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Dimana moment 21 September 2023 merupakan sejarah kelam bagi daerah itu.

Banyak yang memberikan statement bahwa itu akibat ketidakadilan sosial, sehingga memaksa masyarakat harus meluapkan kekesalan dengan membakar kantor yang menjadi identitas serta kebanggan bagi daerah ini, lenyap bersamaan dengan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah yang dituduh bermain mata dengan korporasi.

Perang menuju kemerdekaan ekonomi dan ketidakadilan sosial, membuat rakyat semakin beringas hingga menjadikan pemerintah sebagai sasaran luapan amarah.

Mungkin ada pola diatas pola tersusun rapi, sehingga ada skenario bakar yang secara hukum tidak dibenarkan, akan tetapi terlupakan oleh doktrin ketidakadilan, pada akhirnya membawa penyesalan diakhir terkurung dalam dekapan dinginnya jeruji besi.

Apakah itu adalah akhir?, jawabannya tidak, Korporasi justru semakin menjadi-jadi, penyelesaian ganti rugi yang berubah jadi tali asih belum juga terselesaikan, kini mereka malah melebarkan sayap hingga mendekati gedung pendidikan yang menjadi pusat untuk mencerdaskan sumber daya manusia.

Semua tetap bungkam, pemerintah pun tidak dapat berbuat banyak, karena katanya kewenangan ditarik ke pusat, sehingga peran daerah di lemahkan, tetapi jadi menjadi sasaran utama.

Rakyat saat ini, tidak dapat berbuat banyak karena masih teringat jelas dalam pikiran mereka, melawan berarti melanggar dan melanggar harus di proses hukum. Sehingga kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh korporasi untuk berbuat kesewenang-wenangan, bahkan tidak segan-segan menindas, dengan dalil tanah negara bukan untuk rakyat.

Lantas tanah yang mana sebenarnya milik rakyat, sehingga Korporasi berani mengklaim bahwa itu adalah tanah negara, dan negara sebenarnya itu siapa.

Namun, meskipun masyarakat belum menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, akan tetapi Merah Putih tetap berkibar didepan rumah mereka sebagai wujud nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *