Ceklisdua.net – Terkait dugaan penarikan paksa sepeda motor milik Risna Nusi, warga Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan pihak leasing, Pimpinan Cabang PT Adira Finance Pohuwato, Rahmat Ismail, akhirnya angkat bicara.
Saat dikonfirmasi pada Kamis (7/7/2025), Rahmat menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh petugas lapangan (depkolektor) tersebut bukanlah penarikan paksa, melainkan penitipan unit kendaraan ke kantor Adira.
“Unit kendaraan tersebut bukan ditarik secara paksa, melainkan dititipkan sementara di kantor. Hal ini dilakukan karena pihak nasabah tidak kooperatif saat didatangi,” jelas Rahmat.
Menurutnya, saat depkolektor datang ke rumah Risna, yang bersangkutan menolak keluar rumah. Satu-satunya pihak keluarga yang sempat ditemui hanyalah ibu dari Risna, yang justru meminta agar petugas menghubungi langsung anaknya.
Rahmat mengklaim bahwa unit tersebut telah menunggak selama tiga bulan, dan pihak leasing mengalami kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan nasabah.
“Kami sudah berusaha menemui nasabah, tapi sangat sulit. Komunikasi tidak terjalin, bahkan orang tua yang tercatat sebagai penjamin juga enggan bertanggung jawab terhadap tunggakan angsuran,” tambahnya.
Saat ditanyakan terkait kepatuhan terhadap Undang-Undang Fidusia, Rahmat mengakui bahwa proses pengambilan kendaraan tersebut belum sepenuhnya sesuai aturan.
“Kalau bicara sesuai prosedur, ya belum,” ungkapnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, penarikan objek jaminan seperti kendaraan bermotor wajib melalui putusan pengadilan. Tanpa adanya surat keputusan (SK) dari pengadilan, penarikan dapat dianggap melanggar hukum.
Namun, pihak Adira tampak ambigu dalam menyikapi aturan tersebut. Ketika ditanya lebih lanjut, Rahmat justru menyebut bahwa jika nasabah keberatan, maka seharusnya jalurnya adalah proses hukum.
“Berarti nasabah harus diproses hukum dulu,” katanya, yang mengindikasikan kurangnya pemahaman terhadap aturan fidusia di internal leasing.
Di tengah polemik ini, klaim “penitipan” oleh pihak leasing memunculkan pertanyaan besar. Pasalnya, kendaraan dibawa dari kediaman nasabah tanpa surat resmi, tanpa perintah pengadilan, dan tanpa persetujuan jelas dari pemilik kendaraan.
Pernyataan dari pihak Adira pun mempertegas bahwa praktik di lapangan masih menyimpan celah pelanggaran hukum. Sebab, bagaimanapun, meskipun terjadi tunggakan, proses penarikan harus tetap mengacu pada perintah pengadilan sesuai amanat Undang-Undang Fidusia.
Seorang warga Desa Popaya, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, bernama Risna Nusi, mengaku menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari oknum yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan dari perusahaan pembiayaan Adira Finance.
Peristiwa memilukan itu terjadi di depan rumah korban. Tanpa menunjukkan surat resmi, tanpa perintah pengadilan, dan tanpa kehadiran aparat berwenang, sepeda motor milik Risna diduga dirampas secara paksa saat ia tidak berada di rumah. Menurut pengakuannya, keluarga yang berada di tempat hanya diberi penjelasan singkat soal tunggakan cicilan, kemudian motor langsung dibawa pergi tanpa kompromi.
“Saat saya pulang, motor sudah tidak ada. Keluarga saya bilang ada yang datang, katanya dari Adira, cuma bilang mau ambil motor karena belum bayar. Tidak ada surat, tidak ada bukti, langsung bawa motor pergi. Ini bukan penarikan, ini perampasan!” tegas Risna.
Yang lebih mengejutkan, tunggakan yang dimaksud ternyata baru berlangsung selama dua bulan. Risna menegaskan bahwa dirinya masih memiliki itikad baik untuk melunasi cicilan kendaraan tersebut. Ia juga menyoroti bahwa tindakan sepihak tersebut jelas-jelas melanggar Undang-Undang Fidusia, yang mengatur bahwa penarikan kendaraan oleh pihak leasing harus dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Baru dua bulan saya menunggak. Tapi kenapa langsung ditarik? Padahal jelas dalam Undang-Undang Fidusia, kendaraan hanya bisa ditarik paksa jika ada putusan pengadilan. Tanpa itu, tindakan mereka adalah pelanggaran hukum dan masuk kategori perampasan aset,” ungkapnya.
Korban menambahkan bahwa selama ini dirinya tidak pernah menolak membayar, dan masih berkomitmen menyelesaikan kewajiban pembayaran. Namun yang terjadi justru adalah bentuk teror dan intimidasi yang menakutkan bagi warga.
“Kecuali saya sudah tidak mau bayar lagi, ini kan saya masih mampu. Hanya saja ada kendala bulan ini. Tapi perlakuan mereka seperti saya penjahat. Ini jelas bertentangan dengan hukum,” katanya.
Tak hanya merasa dirugikan secara materiil, Risna juga menilai bahwa cara-cara kasar dan sepihak yang dilakukan oleh oknum tersebut telah meresahkan masyarakat. Ia khawatir praktik serupa bisa terjadi pada warga lain yang mungkin tidak memahami hak-hak hukumnya sebagai konsumen.
“Kami tidak bisa diam. Saya akan melaporkan ini ke pihak kepolisian. Ini bukan lagi soal tunggakan dua bulan, ini soal penyerobotan aset tanpa dasar hukum. Harus ada efek jera bagi oknum semacam ini. Jangan sampai ada korban berikutnya,” tandasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak media masih menunggu klarifikasi resmi dari PT Adira Finance mengenai tudingan serius ini. Apakah benar tindakan tersebut dilakukan oleh petugas resmi, atau justru ada penyalahgunaan nama perusahaan oleh oknum tertentu?
Yang pasti, kasus Risna Nusi menjadi potret buram bagaimana kekerasan struktural bisa terjadi dengan mengabaikan hukum, hak asasi, dan keadilan. Masyarakat kini menanti respons tegas dari aparat penegak hukum serta komitmen lembaga pembiayaan untuk mematuhi prosedur yang sah, adil, dan manusiawi.
Redaksi